Pentingnya izin suami bagi si isteri


Klik pada gambar untuk lebih jelas

Kandungan Bab:

1. Haram hukumnya atas seorang isteri mengizinkan siapa pun masuk ke dalam rumah suaminya kecuali dengan izinnya, baik si suami ada di rumah maupun sedang ke luar. Adapun perkataan, “Sedang ia hadir (ada di rumah)” maka Ibnu Hajar al-Ashqalani mengatakan dalam Fathul Bari (IX/296), “Kondisi syarat ini tidak ada mafhumnya, namun disebutkan karena faktor kebiasaan. Sebab keluarnya suami bukan berarti si isteri boleh mengizinkan orang lain masuk ke dalam rumahnya. Bahkan larangannya lebih keras lagi karena adanya hadits-hadits yang melarang masuk ke dalam rumah seorang wanita yang sedang sendiri, yang seorang isteri yang suaminya sedang pergi ke luar rumah.

Mungkin juga ada mafhumnya, jika si suami ada di rumah maka mudah meminta izin kepadanya. Dan jika si suami tidak ada di rumah andaikata ada keperluan darurat untuk masuk ke dalam rumahnya maka tidaklah perlu meminta izin karena adanya udzur.

Kemudian semua itu berkaitan dengan masuk menemui si isteri, adapun mutlak masuk ke dalam rumah misalnya si isteri mengizinkan seseorang masuk ke salah satu tempat dalam rumah untuk keperluaan rumah itu atau ke rumah yang terpisah dari rumah yang ditempatinya, maka dzahirnya masalah ini disamakan dengan masalah yang pertama.”

2. Harus mendapat izin yang jelas dari suami dalam hal tersebut, wallahua’lam.

3. Izin masuk rumah merupakan hak suami, oleh karena itu tidak boleh dipalsukan atas nama suami.

4. Hukum ini berlaku selama si isteri tidak mengetahui
ridha suaminya terhadap orang tersebut, namun bila si isteri mengetahui bahwa si suami jelas ridha terhadap orang tersebut maka tidak ada masalah bagi si isteri untuk mengizinkan orang tersebut masuk. Berdasarkan hadits Amru bin al-Ahwash, “Janganlah ia izinkan siapapun yang kamu benci masuk ke dalam rumahmu.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/39-40.